Secara definisi, pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri atas (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (3) Dana Perimbangan, dan (3). Kelompok Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Namun hanya sumber (1) dan (3) yang merupakan hasil kerja pemerintah daerah sendiri.
Pada tahun 2018 Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencapai Rp.325.098.327.236,-. Jika dibandingkan dengan jumlah belanja yang mencapai Rp.233.457.599.3401,- maka PAD ini mampu mecukupi sebesar 13,15%. Taget PAD pada RPJMD 2014-2019 sebesar 12,02%. Realisasi PAD pada RPJMD 2014-2019 sebesar 7,64%. Sementara pada RPJMD 2019-2024 ditetapkan target peningkatan PAD sebesar 5,11%.
Grafis 2 menjelaskan hubungan antara proyeksi peningkatan PAD 2014-2019 (biru) dan realisasi PAD 2014-2019 ( merah), serta proyeksi peningkatan PAD 2019-2024 (hijau). Grafis menunjukan bahwa pada 5 tahun yang lalu, realisasi peningkatan PAD lebih rendah dari proyeksi peningkatan PAD. Namun realisasi peningkatan PAD 5 tahun yang lalu, lebih tinggi dari proyeksi peningkatan PAD 5 tahun yang akan datang.
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari kelompok: a. pajak daerah, b.retribusi daerah, c. pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, disajikan dalam grafis 4.
Dalam grafis tersaji bahwa: pertama, realisasi semua komponen PAD melampaui proyeksinya. Kedua, komponen terbesar PAD adalah kelompok d (Lain-lain PAD yang sah). Pada tahun 2018, sebesar 47,32%.
Lain-lain PAD yang sah, meliputi: a. Hasil penjualan aset daerah, b. Jasa giro, c. Pendapatan Bunga, d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap matauang asing, dan e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah.
Sementara itu, komponen pajak daerah hanya menyumbang 27,83%. Secara lebih rinci, pajak PBB hanya menyumbang 11% pada pendapatan pajak dan retribusi yang besarnya Rp.142,63 milyar atau sebesar Rp.15,6 milyar.
Sebagai perbandingan, kontribusi pajak daerah terhadap PAD Kab. Sleman sebesar 67,72%. Sementara PBB tahun 2018 targetnya menjadi Rp.72 milyar (http://jogja.tribunnews.com/2018/02/07/).
Artinya, dengan luas wil yang persis separoh Kab. Magelang, pemungutan pajak PBB Sleman lebih intensif, bagi Kab. Magelang masih terbuka luas potensi luas untuk ekstensisifikasi, melalui penyesuaian NJOP maupun intensifikasi administrasi pemungutan pajak.
Selain PBB, yang potensial ditingkatkan pajak/retribusi sector pariwisata, yaitu: pajak hotel, restoran dan hiburan. Dengan jumlah wisman 307.705 dan wisnus 8.224.033; Kab. Sleman meraup pendapatan sector pariwisata sebesar Rp.220,7 milyar. Dengan rincian pajak hotel Rp.99,16 milyar, restoran Rp.92,05 milyar dan hiburan Rp.20,60 milyar.
Pendapatan sector pariwisata, dengan rincian pajak hotel Rp.13,51 milyar, restoran Rp.12,14 milyar dan hiburan Rp.20,02 milyar. Sementara jumlah wisman 358.673 dan wisnus 5.977.422. Artinya, pendapatan sector pariwisata ada potensi yang besar untuk digali.
Sejatinya, telah dirumuskan 9 (sembilan) kebijakan umum pengelolaan pendapatan pada RPJMD 2019-2024, sebagai berikut: 1. intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan, 2. sinergis bidang pendapatan dengan pemprov., SKPD Penghasil, BPKP maupun KP Pratama, 3. Peningkatan produktivitas BUMD, 4. meningkatkan sadar pajak dan retribusi, 5. Peninjauan kembali dasar pengenaan dan tarif Pajak Daerah serta struktur dan besarnya tarif Retribusi, 6. Revitalisasi asset, 7. Pengelolaan manajemen kas yang optimal, 8. Peningkatkan kompetensi SDM, dan 9. Memanfaatkan teknologi informasi pajak online (e-PBB, e-SPTPD, SIMBPHTB, SISMIOP). Namun, yang sembilan ini baru rencana, belum dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan?
Pemerintah harus hadir, jargon pemerintah saat ini. Namun, menurut Joseph E. Stiglitz peraih Nobel Ekonomi pemerintah dapat menjalankan fungsi tersembunyai atau hidden redistribution programs. Yaitu, melalui sistem perpajakan sesungguhnya menjalankan fungsi pemertataan kesejahteraan (Ecomomic of Public Sector, 1998, New York: WW Norton & Company).
Pemerintah melakukan intervensi pemerataan bukan hanya melalui bantuan langsung tunai (BLT) atau transfer, tetapi juga melalui sistem perpajakan atau programs lainnya. Mengenakan tarif pajak secara sama, dan memberikan bantuan kepada yang berpendapatan rendah, sama dampaknya dengan penerapan tarif pajak lebih rendah kepada yang pendapatannya lebih rendah. Kira-kira tidak ada beda amat, antara BLT melalui sisi ‘belanja’ dengan transfer tersamar melalui sistem perpajakan.
Demikian juga dengan program subsidi dan kuota. Subsidi pertanian sesungguhnya redistribusi pendapatan kepada petani. Belanja barang dan jasa juga berdampak pada redistribusi pendapata. BRT atau bus rapit transport menguntungkan penduduk miskin, sementara kereta api komuter sangat membantu kelas menengah.
Jika tidak dilakukan penyesuaian pajak dan pendapatan daerah, melalui ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, maka pemda hadir tidak, bersembunyipun tidak mampu.
*Perencana Madya Bappeda Kab. Magelang.