Adakah konflik ideologi?. Ketika pada bulan Oktober, bulan dimana segenap anak bangsa memperingati hari kesaktian Pancasila, pengadilan melepaskan tersangka mega korupsi pengadaan KTP elektronik. Menyusul kemudian operasi tangkap tangan (OTT) menyasar ketua pengadilan tinggi.
Adakah yang salah?. Ketika timbul anggapan bahwa korupsi itu penomena gunung es. Artinya, yang nampak di permukaan lebih kecil dari fakta yang sesungguhnya. Maksudnya, lebih banyak lagi yang belum tertangkap.
Konteknya. Dari tiga tuntutan gerakan reformasi, baru satu yang tertangani, maksudnya ada upaya kelembagaan untuk menangai, itulah korupsi. Gerakan reformasi menuntut pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Sebagaimana korupsi, kejahatan nepotisme sangat gamblang atau terang benderang.Apa pelakunya tidak malu?. Pasti tidak. Malah pamer je. Pamer kemaluan?.Laiknya, penjaja cinta.
Nepotisme, atau penempatan pejabat atas dasar hubungan pertemanan atau persaudaraan dan bukan atas dasar kompetensi (wikipedia), diperluas dengan basis kedaerahan, agama, alma mater, dll., dst., adalah kejahatan atau tindak kriminal yang sesungguhnya menimbulkan kerusakan yang tidak kalah dahsyat, dibandingkan dengan korupsi.
Dengan analisis sederhana, membandingkan dua daerah yang mempunyai karakteristik, potensi sumberdaya alam dan masalah yang serupa, yang satu telah menerapkan ‘merit system’ (pengangkatan pejabat berdasarkan komptensi melalui seleksi terbuka), selanjutnya kita sebut KSM (kabupaten sistem merit), daerah yang satu lagi kita sebut KSN (kabupaten sistem nepotisme), karena cenderung nepotisme. Saking kuatnya nepotisme di KSN menjadikan pejabatnya homogin, karena hanya berasal dari satu sekolah yang sama. Sebaliknya tidak ada alumnus sekolah dimaksud yang tidak menjabat. Pas ada rapat serasa reuni. KSN dan KSM menunjukkan kinerja yang sangat kontras.
a. Dalam menghimpun kemakmuran rakyat, berupa sandang, pangan, papan, kesehatan dan kepintaran, daerah KSN 50% lebih rendah dari KSM.
b. Hasil olah kemakmuran pada sektor tertentu (pariwisata), daerah KSN, hanya 30% atau sepertiga dari KSM.
c. Dalam hal menghimpun pendapatasli daerah (PAD), KSN hanya 40% dari KSM.
d. Dalam hal menghimpun pendapat asli daerah dari sektor tertentu (pariwisata), dibandingkan KSM, kemampuan KSN hanya kurang dari 10%.
Karena dua kabupaten ini memanfaatkan sumberdaya yang sama, maka KSN telah kehilangan peluang untuk mendapatkan manfaat pada poin a hingga d. Kehilangan peluang atau opportunity cost adalah keuntungan yang tidak jadi diraih karena keputusan untuk memilih suatu tindakan, dan bukan memilih tindakan yang lain. Dalam buadaya bisnis Jepang, opportunity cost ini disetarakan dengan kerugian. Oleh karena itu baiklah dihitung kerugian dari nepotisme, yang ternyata lebih besar dari kerugian negara pada kasus KTP eletronik .
Rendahnya pendapatan ini, menjadi kendala bagi pemerintah daerah KSN untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, antara lain pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, hanya separoh anak usia sekolah menengah atas yang terlayani kebutuhan pendidikannya. Mereka tidak punya pilihan, kecuali masuk ke lapangan kerja dengan bekal keahlian dan ketrampilan yang sangat rendah, sehingga harus mau menerima upah yang juga rendah.
Di abad teknologi, dimana kecerdasan otak menjadi faktor penentu daya saing daripada kekuatan otot, pengabaian layanan pendidikan sama halnya membiarkan generasi muda terlindas roda jaman.
Dengan demikian, kejahatan nepotisme membawa dampak kerusakan lintas generasi. Berkenankah mengakhiri?.
Pertanyaannya, apakah praktek penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang tidak mengindahkan nilai luhur Pancasila ini, yang mengarus-utamakan nepotisme, kolusi dan korupsi ini, menjadi pertanda ‘sandyakalaning ideologi?’.
The End of Ideology
Akhir jaman ideologi bukan disebabkan oleh maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme, tetapi pembinasa ideologi adalah teknokrat. Demikian dinyatakan pakar politik kelas dunia Daniel Bell, dalam buku berjudul The End of Ideology terbit pada 1960 (www.economist.com).
Katanya, ideologi besar yang ada Marxisme,liberalisme dan konservatisme –telah kehilangan semuakuasa untuk membentuk pola pikir.Sebagai gantinya, merah atau birunya masa depan bukan di tangan ideology, tetapiberada di tangan teknokrat.
Technocracy (Wikipedia) adalah sistem pemerintahan dimana pengambil keputusan dipilih berdasarkan pengetahuan teknologi. Para ilmuwan, insinyur, teknolog, atau ahli di bidang apapun, yang diberi jabatan di badan pemerintahan, bukan keterwakilan politik yang terpilih melalui pemilu. Keterampilan kepemimpinan akan dipilih berdasarkan pengetahuan dan kinerja khusus, bukan keterampilan politik menghimpun massa. Dalam pengertian lain yang umum digunakan, teknokrasi adalah bagian dari birokrasi yang dijalankan oleh para teknolog.
Inkubator bagi kuasa teknokrat adalah masalah-masalah masa kini, menurut Prof. Dr. Mohtar Mas’ud (Negara Kapital dan Demokrasi, 1994: 40). telah membuat kebijakan pemerintah menjadi begitu komplek sehingga para ahli teknis harus diberi peran utama dan bahwa dalam masyarakat modern para politisi tradisional harus memberi tempat kepada para pakar, yang disebut teknokrat.
Jaman yang diramalkan oleh Daniel Bell adalah jaman kuasanaan orde baru, yang menandai lahirnya ideologi baru, yaitu developmentalisme (Dawam Raharjo) atau pembangunanisme (Mochtar Mas’ud).
Mula-mula developmentalisme adalah salah satu teori pembangunan, tapi kemudian berkembang menjadi suatu ideologi. Motif utamanya adalah pembendungan pengaruh komunisme. Asumsinya, sumber penyebaran komunisme adalah kemiskinan. Karena itu penangkal penyebaran komunisme adalah pembangunan ekonomi yang mampu menghapus kemiskinan.
Pola pikirnya, keberhasilan pembangunan adalah sumber legitimasi bagi elit politik untuk memerintah. Sehingga, elit politik berhak atas legitimasi politik, baik secara de facto maupun de jure, dengan klaim keberhasilan pembangunan ekonomi.
Kaitan legitimasi dan keberhasilan pembangunan inilah yang menjadikan orba sangat menekankan pembangunan kepada hasilnya atau berorientasi hasil. Hasil pembangunan ditetapan secara tegas dan jelas, misalnya: swasembada pangan, pertumbuhan ekonomi, ketercukupan kebutuhan dasar (pendidikan,kesehatandan sanitasi). Dan untuk mencapai hasil, yang dikendaki cara apapun harus ditempuh dan berapapun biayanya atau at all cost.
Namun, rupanya dalam mencapi hasil pembangunan itu, menurut para pengkritik, ada norma-norma yang dilanggar, misalnya: kemerataan, demokrasi, penghormatan pada hak azasi manusia, dan tentu saja korupsi. Oleh karena itu, dalam pemerintahan pasca-reformasi, orientasi pembanguan diubah dari orientasi kepada hasil menjadi orientasi kepada proses.
Sebagai proses pembangunan itu harus taat azas mulai dari perencanaan, penganggaran, monitoring/evaluasi, dan pelaporan kinerja, dan yang pengakhiri proses pembangunan adalah ‘surat pertanggungjawaban’ atau SPJ. Azas, prinsip dan kaidah yang harus ditaati, antar lain berupa perpres, permen, perdirjen, juklat dan juknis, yang terangkumdalam bentuk sistem dan presedur atau sisdur. Jika dilanggar sisdur bisa menjadikan perkara. Perkara terkecil menjadi temuan, perkara terbesar menjadi pidana.
Sisdur dikembangkan dalam kerangka besar atau grand design ‘teori birokrasi’. Teori birokrasi adalah tata laksana pengelolaan organisasi yang dirumuskan oleh Max Weber 150 tahun yang lalu. Merajalelanya sisdur yang dikembangkan berdasarkan ajaran Max Weber ini kita mengalami jaman lahirnya ideologi birokratisme.
Jika pembangunan menjadi inkubator tumbuh kembangnya teknokrasi, maka birokratisme menjadi inkubator tumbuh kembang bagi nepotisme. Disini bisa dijelaskan merajalelanya alumni sekolah tertentu untuk menduduki semua jabatan strategis hingga jabatan yang tidak berarti. Ya, karena karena di sekolah dimaksud, kurikulumnya dikembangkan untuk memuliakan teori birokrasi. Ketika bekerja mereka hanya umpek-umpekan pada sistem prosedur, kewengan, formalitas, hirarki, payung hukum, dan tetek bengeknya yang menjadikan pemerintahan tidak mampu menghasilkan barang dan jasa, yang bermanfaat untuk mensejahterakan masyarakat.
Birokratisme, pelaksanaan pemerintahan yang terlalu berfokus pada proses administrasi, mulai dari perencanaan, pelaporan dan penyusunan SPJ. Telah meresahkan, bahkan Presiden, antara lain disampaikan saat Musrenbangnas 2017, yang bisa dilihat di Youtube.
Penatausahaan dan pelaporan keuangan (SPJ) telah menyita energi birokrasi, mungkin sepertiga hingga setengah, sehinga sangat berpengaruh pada pencapaian fisik, yaitu dalam menyediakan barang dan jasa/pelayanan.
Terkait kinerja BLUD (badan layanan umum daerah) pada Puskesmas, Kepala Bappeda Drs. Sugiyono, MSi., membuat narasi: karena SPJ BLUD, rumit tenaga medis dikerahkan untuk membuat SPJ, akibatnya kinerja pelayanan kesehatan menurun. Namun, karena tenaga medis bukan ahli administrasi maka SPJ yang dibuat juga kurang baik.
SPJ tidak mampu memberantas korupsi. Dalam kasus mega korupsi KTP elektronik, sangat bagus dan rapi secara SPJ. Pengadaan KTP elektronik secara administratif birokratif, telah lolos audit yang berlapis-lapis, insperktorat hingga dari BPK mendapatkan opini tertinggi Wajar Tanpa Pengecualian atau WTP.
Namun, sebaliknya jika capaian fisik baik, dapat mengasilaan barang dan jasa/pelayanan yang dapat dinilamti masyarakat, namun jika SPJ tidak rapi, maka bisa menhantar seorang pejabat menjadi tersangka. Dalam hal ini terap ungkapan: berjasa bagi warga negara tetapi dipenjara oleh negara.
Berikut ini fatwa Prof. Dawam Raharjo (Prisma,1986): birokratisme mengacu pada sifat keterpakuan pada rutinitas, penolakan terhadap inovasi, keengganan memikul tanggung jawab, kekakuan dalam menerapkan aturan, kecendrungan menunda pekerjaan.
Bukankah jaman orde baru juga mengandalkan birokrasi, sehingga terkenal dengan tiga pilar ABG (ABRI/TNI, Birokrasi, Golkar)?.
Orde baru memakai jalur ganda (double track), untuk urusan politik dipakai jalur ABG, tetapi untuk urusan pembangunan/investasi, birokasi di- by pass, atau potong jalur/kompas, diganti dengan INPRES (instruksi presiden). Dalam penyusunan anggaran tidak turut dibahas dengan legislatif, potong kompas dengan off-budget.
Presiden Suharto, yang berpengalaman memimpin birokarsi militer, faham betul bahwa birokrasi sipil tidak bisa diandalkan. Jika, program pembangunan dikelola birokrasi tidak akan efektif, tidak sampai ke sasaran bahkan dikorupsi, atau hanya akan ditabung, melalui modus SILPA (sisa lebih anggaran/saldo). Buktinya, saat ini DAK rehabilitasi sekolah, tidak terserap.
Inpres pendidikan, kesehatan dan pangan menunai pujian, bahkan dari lembaga internasional. Pada tahun 1985 ketika Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari Badan Pangan Sedunia (FAO) itu karena Indonesia berhasil menciptakan swasembada beras.
Jika pada orde pembangunanisme, dimana TNI dominan, maka mantra yang dirafal ‘tidak ada bawahan yang salah yang ada pemimpin yang tidak mampu’. Ini mantra yang membimbing sukses orde baru, yang dikenang hingga saat ini: enak jamanku to?. Maka pada jaman SPJ ini yang dirapal mantranya maling agar tidak ketangkap aparat penegak hukum ‘slaman, slumun, slamet’. *perencana madya di Bappeda Kab. Magelang.