Oleh Budiono*
Pembangunan jalan toll adalah sesuatu yang ‘given’, pasti terjadi karena telah menjadi kebijakan pemerintah pusat. Oleh karena itu sikap yang harus diambil pemda adalah melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat secara adil dan beradap, yaitu memberikan pemahaman yang seimbang bahwa ada manfaat positif dan ada biaya negatif, yang harus ditanggung oleh warga masyarakat. Lebih tegas lagi disampaikan bahwa pemda jangan menambah rasa takut masyarakat. Itulsh pentingnya sosialisasi. Demikain disampaikan Dr. Zaenal Arifin, dari STPP Tegalrejo, pada rakor Dewan Riset Daerah (DRD).
Urgensi sosialisasi ini, sejalan dengan rekomendasi USTN (Universitas Science dan Teknologi Norwegia), bahwa mendesak untuk disebarkan informasi seluas-luasnya terkait tujuan pembangunan jalan toll (berbayar) dan dampak yang timbul jika jalan toll tidak dibangun, mengingatbeberapa riset sebagai berikut:
• Orang tidak dapat memperkirakan kegunaan dari jalan toll (jalan berbayar) kecuali alasannya dijelaskan kepada mereka, jika tidak maka tetap bersikap negatif;
• Setelah tol diimplementasikan dan kegiatan konstruksi dimulai, orang mulai memahami kegunaannya, dan menjadi kurang sikap negatifnya;
• Pengguna menjadi kurang negatif sikapnya saat mereka dapat menggunakan sebagian infrastruktur yang dibangun memakai dana toll;
• Sikap negatif mencapai minimum saat toll/berbayar dihapus. Mereka yang masih tetap negatif terus demikian, karena mereka berprinsip: Tol itu pajak tambahan.
Wacana rakor sedikit banyak terbawa arus pernyataan Sultan HB X, bahwa jalan toll tidak memberi dampak ekonomi bagi warga masyarakat, oleh karena itu beliau lebih setuju pada pelebaran jalan yang telah ada.
Walaupun telah berulang dan berkali dijelaskan, misalnya oleh Dr. A. Tony Prasetyantono dari UGM, bahwa belanja infrastruktur merupakan investasi jangka panjang yang hasilnya berupa konektivitas, penurunan biaya logistik, atau distribusi barang. Hal ini akan menaikkan efiseiensi yang dipresentasikan dengan penurunan ICOR atau incremental Capital Output Ratio (Kompas, 30 Oktober 2017).
Tidak sendirian, di India belanja infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi dianggap sama dengan perjudian, sebagai berikut: India's $100bn road building gamble to boost economy (BBC News, 28 October 2017). Bandingkan, kalau kurs hari ini 1$=Rp.13.692, maka belanja infrastruktur India Rp.1.369 trilyun, lebih tiga kali lipat belanja infrastruktur Indonesia yang hanya Rp.400 trilyun.
Padahal kebijakan infrastruktur India telah sesuai dengan tuntunan dari begawan ekonomi kelas dunia: John Maynard Keynes. Menurut Keynes pemerintah harus siap untuk meminjam lebih banyak dan berinvestasi di pekerjaan umum untuk memulai kembali pertumbuhan, untuk keluar dari krisis ekonomi. Dengan membangun jalan, akan mempekerjakan banyak orang dalam proses kontruksinya dan masyarakat mendapatkan upahnya. Penghasilan ini digunakan untuk belanja konsumsi yang akan memacu bisnis maupun ekonomi.
Bagi yang bersikap ragu: penjelasan kausalnya tidak sesederhana itu. Walaupun tuntunan Keynes ini telah berhasil membimbing dunia keluar dari krisis ekonomi tahun 1930-an. Krisis ekonomi 1930-an, umumnya disebut ‘The Great Depressian’ atau malaise, simbah kita menyebutnya sebagai jaman meleset.
Istilah jaman meleset kalau ditanyakan ke simbah google masih encer, namun dalam wacana sehari-hari jarang digunakan. Beda dengan malaise yang tetap eksis. Misalnya, judul berita Financial Time 24 Oktober 2017: British GDP picks up but the economic malaise goes on (https://www.ft.com/).
Malaise digunakan sebagai judul opini peraih anugerah Nobel bidang ekonomi Joseph Stiglitz di koran Inggris The Thelegraph: The current economic malaise is the result of flawed policies (6 February 2014). Malaise –adalah pertumbuhan yang lambat dan pendapatan yang hampir stagnan selama bertahun-tahun.
Dalam malaise itu terkandung: ketidakmerataan pendapatan yang memburuk, tidak terjadinya perubahan struktur ekonomi (idealnya struktur ekonomi bergeser dari pertanian ke industri dan berakhir di sektor jasa), gagal meningkatkan daya saing, dan sistem keuangan yang gemar spekulasi dari pada untuk investasi, meningkatkan produktivitas dan menyerap tenaga kerja yang menganggur.
Diperparah oleh kebijakan pemerintah yang terlalu sedikit untuk investasi SDM (pendidikan) yang mengakibatkan SDM tidak terpakai (idle) dan meningkatkan rasa terasing pada saat seharusnya mereka mengasah kompetensi untuk meningkatkan produktivitas.
Apakah jaman meleset juga sedang berlangsung disini? Jika berminat, melihat fakta: ekonomi terus tumbuh sekitar 5 persen per tahun, inflasi rendah sekitar 3 persen, pengangguran terbuka sangat rendah, belanja pemerintah dalam APBD terus meningkat signifikan, tetapi angka kemiskinan bergerak dalam ukuran desimal, tidak beranjak jauh dari 13 persen.
BCA
Dalam rakor ada juga upaya untuk mengarahkan agar DRD mengambil sikap untuk menerima atau menolak jalan toll yang akan melintas kawasan Magelang. Wacana ini serta merta ditolak anggota DRD, karena bukan porsi pakar/ilmuwan untuk mengambil sikap yang demikian.
Sikap dewan ini sesuai dengan butir-butir tuntunan perumusan rekomendasi kebijakan dari William N. Dunn, (Public Policy Analysis: 1994) yang terdiri dari 24 butir. Butir pertama tertulis, rekomendasi kebijakan menjunjung tinggi nilai, etika dan moral, sehingga rekomendasi harus berisi alternatif-alternatif yang terbaik disertai argumentasi mengapa demikian. Jadi kata kuncinya alternatif-alternatif, bukan satu alternatif.
Butir ke-19, memberi tuntunan bahwa ada dua pendekatan utama untuk merumuskan rekomendasi dalam analisis kebijakan, yaitu analisis manfaat biaya atau benefits-costs analysis (BCA) dan analisis efektivitas biaya. Keduanya mengukur keseluruhan biaya dan manfaat suatu program/ kegiatan bagi masyarakat.
BCA adalah evaluasi sistematis terhadap semua keuntungan (keuntungan) dan kerugian (biaya) yang diharapkan diperoleh dari sebuah proyek dan dapat disajikan secara rupiah.
Karena tidak semua manfaat / biayadapatdiukur dalam rupiah, BCA harus dilengkapi dengan evaluasi subyektif terhadap faktor-faktor yang tidak dapat diukur secara rupiah.
UST Norwegia menyajikan analisis manfaat biaya pembangunan jalan toll, sebagai berikut:
• Manfaat proyek: manfaat – biaya (dalam bentuk terdiskon untuk melihat nilai saat ini). Jika >0 menguntungkan, sedangkan jika <0 merugikan.
• Dampak proyek jalan toll, sebagai berikut:
Sementara KPMG yang menyajikananalisis manfaat biaya pembangunan jalan toll dalam bentuk grafis, sebagai berikut:
Dalam forum DRD ini, Dr. Bambang Surendro dari Universitas Negeri Tidar Magelang mengingatkan bahwa pembangunan jalan toll itu perspektifnya jangka panjang, maka ‘manfaat’ jalan toll, tidak dapat dapat diharapakan dalam waktu singkat. Demikian juga manfaatnya, yang terbesar bukan manfaat langsung (outcome), tetapi berupa dampak (impact).
Dampak jalan toll baru terwujud, ketika para wira usaha memanfaatkan peningkatan ‘daya saing’ sebagai peluang untuk investasi. Dari investasi yang telah operasional akan tumbuh permintaan input (faktor produksi) berupa bahan dasar dan tenaga kerja. Terhadap faktor produksi dan juga produksi yang dihasilkan para wirausaha ini dapat dikenakan pajak dan retribusi uantuk menambah pundi-pundi pendapatan daerah.
Dengan demikian, syarat cukup (sufficient condition) untuk mendapatkan manfaat dan dampak jalan toll adalah menjadikan diri ‘kabupaten ramah investasi’. Untuk itu diperlukan perubahan pola pikir, dengan mengembangkan relasi ‘kemitraan’ dengan pengusaha, dan meninggalkan gaya memerintah yang memecahbelah dan menguasai.
Mengamalkan teladan dari peternak adalah kiat yang dianjurkan Sekretaris Dinas Perikanan dan Peternakan. Sebelum ke pasar membeli hewan ternak peternak telah menyediakan kandang dan pakan. Pulang dari pasar hewan ternak yang dalam kondisi belum ideal, diperlakukan dengan baik, diberi pakan dan suplemen. Setelah ternak ideal, sehat dan gemuk baru peternak memeras susu.
What should be done?
Butir ke-2, tuntunan Bill Dunn bahwa rekomendasi kebijakan itu berwujud jawaban atas pertanyaan: Apa yang harus dilakukan?. Oleh karena itu rekomendasi kebijakan harus berorientasi tindakan, bukan sekedar proyeksi atau evaluasi. Pokoknya rekomendasi itu wijudnya rencana aksi atau renaksi.
Agar tidak meleset, agar manfaat pembangunan jalan toll dapat dinikmati warga masyarakat, maka ada upaya ada kebijakan, program/ kegiatan yang harus dilakukan. Jalan toll bukan durian runtuh yang dapat dinikmati seraya ongkang-ongkang. Manfaat bru dapat dinikmati setelah putar otak dan peras keringat. Kebijakan pengambilan manfaat toll bukan hanya satu, ada beberapa jenis. Kebijakan itu berjenis distributif, redistributif dan pre-redistributif.
Yang distributif, terkait dengan kontruksi, operasional dan pemeliharaan jalan toll yang membutuhkan input/faktor produksi berupa dana dan sumber daya manusia. Jika pemda mampu menyediakan kebutuhan input ini maka akan didapatkan imbal jasa (return on capital and return on labor).
Yang redistributif, wujudnya adalah program-program kesejahteraan sosial/pengentasan kemiskinan yang didanai dari peningkatan pendapatan pajak seiring dengan peningkatan produksi.
Yang preredistribusi terjadi jika peningkatan pendapatan daerah digunakan untuk investasi, baik investasi SDM (pendidikan, kesehatan dan pelatihan tenaga kerja) maupun untuk investasi fisik (infrastruktur wilayah) untuk pemerataan akses antar sub-wilayah.
Intinya, sudah tepat jika untuk keluar dari jaman meleset (malaise) belanja infrastruktur (antara lain jalan toll) harus digenjot, dengan demikian tercipta peluang berupa konektivitas, penurunan biaya logistik, atau distribusi barang atau kenaikkan efisiensi. Yang diperlukan adalah putar otak dan peraskeringat, agar peluang tidak meleset, sebaliknya kesejahteraan akan melesat. *Budiono, perencana madya di Bappeda.