Menurutnya, persoalan pengusulan UMK sepenuhnya menjadi tanggung jawab bupati atau walikota masing-masing, sebab yang mengetahui tentang UMK
maupun kebutuhan hidup layak (KHL) di satu daerah adalah kepala daerahnya. Jika sudah disepakati, katanya, baru dirinya akan menyetujui, dan seluruh wilayah Jawa Tengah agar melaksanakan bersama besarnya UMK tersebut.
Usulan UMK itu, lanjutnya, diputuskan dengan musyawarah tripartite, yakni antara pengusaha, buruh dan pemerintah setempat. Mereka berembug mencari solusi jalan terbaik, jadi, hasilnya nanti pun akan dilaksanakan bersama-sama. “Kalau saya yang buat, nanti namanya pressure, penekanan kebijakan yang tidak tepat, itu bukan urusan gubernur,” tegasnya. Usulan UMK yang telah disepakati itu, selanjutnya dilaporkan ke Gubernur untuk disetujui. Persetujuannnya dilaksanakan bersama 35 kabupaten kota.
Terkait KHL, Gubernur minta agar ini juga di koordinasikan, bukan dipaksakan. Menurutnya, UMK tidak selalu sesuai dengan KHL, tetapi setapak demi setapak mengarah ke sana. Jika dipaksakan, ia khawatir pabrik tak mampu, dan jika pabrik tidak jalan pekerja akan kehilangan pekerjaannya. “UMK disesuaikan sambil jalan menuju sebesar KHL. Dengan begitu, pabrik akan makmur. Jika berhasil meraih laba, maka harus komitmen agar UMK dinaikkan sesuai KHL, jangan semaunya sendiri,” ujarnya. Ia mengakui, perhitungan investasi sebuah perusahaan itu rumit, dan jika perusahaan itu sampai merugi, maka akan bangkrut dan mati. Akibatnya, ribuan pekerja menjadi tidak punya pekerjaan. Jumlah itu pun belum termasuk kerugian perusahaan. “Kecuali kalau pabrik itu sejahtera tapi tidak mau tau tentang UMK. Yang seperti ini, Bibit Waluyo yang akan di depan menuntut perusahaan
itu,” tandasnya.
***)Widodo Anwari Humas & Protokol Kab. Magelang