BERITAMAGELANG.ID - Budi daya Maggot mulai dikembangkan seorang pemuda asal Dusun Kenteng Desa Sumberrejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Danu Wurdianto memanfaatkan sampah organik yang berasal dari limbah pertanian seperti sisa sortiran sayuran yang akan dijual petani. Kecamatan Ngablak sendiri merupakan sentra penghasil tanaman hortikultura.
Di wilayah ketinggian 1.370 mdpl yang dikelilingi Gunung Merbabu, Andong dan Telomoyo ini, mayoritas penduduknya merupakan petani hortikultura. Limbah pertanian setiap hari menumpuk.
Karena itu, Danu berinisiatif memanfaatkan limbah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Ia kemudian membudidayakan hewan Maggot.
Apakah itu Maggot? Menurut Danu, Maggot merupakan larva atau belatung yang berasal dari telur serangga bernama black soldier fly (BSF). Maggot termasuk larva pemakan bahan organik seperti sayuran, limbah rumah tangga, dan limbah restoran. Dengan kemampuan yang dimilikinya tersebut, Maggot dapat dimanfaatkan sebagai pengurai sampah organik.
Sepintas hewan ini mirip dengan belatung dan sedikit menjijikkan. Hanya saja berbeda dari belatung yang menimbulkan bau busuk. Dalam budi daya Maggot bau busuk itu nyaris tak terasa, meski tetap saja ada bebauan tak sedap.
Danu berinisiatif membudidayakan Maggot, berawal dari program desa untuk mengelolaan sampah organik.
"Saat itu awal pandemi, jadi saya tertarik untuk mengaplikasikan program tersebut menjadi ladang usaha," jelas Danu saat ditemui, Senin (28/12/2020).
Untuk menghasilkan Maggot butuh waktu dua bulan, mulai dari telur hingga panen. Menurutnya meskipun baru sebentar, hasil budi daya Maggot ini sudah terlihat. Selain mengurangi sampah-sampah warga sekitar, dari sisi ekonomi juga menghasilkan.
Berkolaborasi dengan beternak ayam Joper, ia menjual Maggot dengan harga Rp 7 ribu/kg. Namun setelah kerjasama dengan peternak dihentikan, ia kemudian memberikan Maggot ke ayam yang dipelihara sendiri. Kemudian ayam itu yang dijual.
Untuk pakan ayam, ia memerlukan sekitar 80 kg Maggot tiap hari. Untuk memberikan pakan, satu kg Maggot memerlukan 2 kg sampah organik dalam satu hari.
Danu juga menjelaskan kelebihan ayam Joper yang diberi makan Maggot, yakni jadi lebih cepat dan sehat daripada ayam biasa, selain itu juga menghemat biaya pakan ternak.
"Jika diberi pakan ayam yang biasa itu kan biayanya tinggi, sedangkan jika kita campur dengan maggot sangat terbantu sekali. Ayam juga lebih sehat dan tidak gampang sakit-sakitan," ungkapnya.
Selain kelebihan, tentu ada kendala yang dialami saat melakukan budidaya Maggot ini. Yakni masyarakat yang belum bisa memilah sampah organik dan anorganik. Kebutuhan pakan Maggot yang belum tercukupi, serta suhu udara yang mempengaruhi proses perkembangbiakannya.
"Karena berhawa dingin, maka proses kembang biaknya cenderung lambat, berbeda kalau di hawa panas akan lebih cepat," kata Danu.
Untuk memperoleh kebutuhan sampah sayur, Danu dan lima orang karyawannya mencari di pasar. Bila harga sayur sedang murah, banyak yang dibuang.
"Daripada dibuang (sampah sayur), kami manfaatkan saja," katanya.
Saat ini ia memiliki ia memiliki ayam Joper sejumlah 9.000 ekor yang diternakkan di belakang rumahnya. Para pembeli ayam biasanya datang ke rumahnya, seperti dari sekitar Magelang maupun dari Jakarta.