Sebenarnya, secara teoritis volume sumberdaya air di bumi ini memang tidak berubah, dan mengalami siklus yang tertutup atau berkesinambungan. Namun dinamika kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sedikit demi sedikit mempengaruhi siklus air tersebut. Perubahan yang langsung dapat dirasakan adalah distribusi dan kualitas sumberdaya air yang dipakai oleh manusia untuk kehidupannya. Kondisi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan air bersih. Masyarakat yang mudah mendapatkan air bersih cenderung hidup lebih sehat dan dapat melakukan kegiatan perekonomian dengan baik, sehingga kualitas kehidupannya meningkat.
Secara alamiah, bumi memiliki kawasan khusus untuk meresapkan dan menyimpan air sebagai sumber daya air tanah. Saat hujan, kawasan tersebut meresapkan air dan saat kemarau sebagai sumber mata air yang kemudian mengalir menjadi sumberdaya air sungai.
Kabupaten Magelang, dilihat dari topografinya kita sebenarnya mempunyai keunggulan hidrologis yang mencerminkan pembagian wilayah yang lengkap. Diibaratkan, Kabupaten Magelang merupakan cawan raksasa. Bibir cawan berupa pegunungan/gunung berhutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air hujan (recharge area), yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong dan Telomoyo serta pegunungan Menoreh. Bagian tengah cawan merupakan dataran subur yang berfungsi sebagai kawasan budi daya seperti pertanian, permukiman, perdagangan, pendidikan dan lain-lain. Sehingga ada yang mengistilahkan sebagai cawan emas, karena kekayaan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya.
Namun, saat ini banyak kawasan resapan air yang telah rusak, tak lagi menahan dan meresapkan air. Ada berbagai faktor penyebabnya, secara garis besar antara lain:
Pertama, terjadinya alih fungsi lahan, dimana daerah ’cawan’ tersebut yang seharusnya merupakan kawasan konservasi dan hanya diperbolehkan untuk budidaya tanaman keras (kayu-kayuan atau buah-buahan), telah berubah menjadi kawasan budidaya tanaman semusim atau sayur mayur, bahkan ada yang digunakan untuk kegiatan penambangan. Ini tidak lepas dari bertambahnya jumlah penduduk yang tiap tahun meningkat pesat dan tekanan ekonomi yang semakin pelik. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat memilih bercocok tanam tanaman semusim yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sedangkan dengan menanam tanaman keras (kayu-kayuan atau buah-buahan) dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memetik hasilnya.
Kedua, kegiatan penebangan pohon yang tidak diikuti dengan penanaman kembali, sehingga gunung atau hutan menjadi gundul. Akibatnya, daya serap tanah menjadi berkurang atau hilang sama sekali sehingga jumlah potensi air tanah dapat menyusut dan mengurangi aliran mata air yang akan mengalir ke sungai saat musim kemarau. Sedangkan pada saat musim hujan, dapat menyebabkan air hujan menjadi air larian (run off) dan akan menggerus lapisan tanah yang subur (top soil) dan pada gilirannya dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor. Sudah menjadi kebiasaan apabila seseorang menebang pohon apalagi kalau pohon tersebut merupakan peninggalan orang tua atau bukan dia sendiri yang menanamnya maka ia cenderung merasa ’ditakdirkan’ hanya untuk memanfaatkannya. Ini sungguh berbeda dengan kearifan lokal yang dimiliki orang-orang tua kita dulu, bahwa seseorang yang sudah tua sekalipun masih mau menanam pohon demi anak cucunya.
Ketiga, banyak daerah resapan air yang digunakan untuk pemukiman. Ini juga lebih disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk, sementara jumlah lahan yang ada tetap. Disamping itu, saat ini pembangunan gedung di wilayah perkotaan juga semakin pesat sehingga banyak permukaan tanah yang tertutup bangunan atau lapisan yang kedap air.
Budidaya tanaman semusim / sayuran di daerah resapan air di lereng G. Sumbing
Memang ironis, pada saat musim penghujan kita sangat kelebihan air sampai terjadi banjir akan tetapi pada saat musim kemarau kita kekeringan, tanpa bisa menyimpan cadangan air tanah. Untuk itu, kita harus mengembalikan fungsi kawasan resapan air tersebut.
Ada beberapa upaya yang dapat kita lakukan. Cara yang paling mudah dan murah adalah dengan menanam pohon. Menurut Prof. Sudharto P Hadi, pakar lingkungan Undip, pohon adalah teman terbaik di bumi (the best friend on the earth is tree). Dengan perakarannya, ia memiliki fungsi menyimpan air tanah, disamping fungsi lain seperti mengikat tanah sehingga mencegah terjadinya erosi, menurunkan suhu lingkungan, memproduksi oksigen, menyerap CO2, sebagai habitat makhluk hidup, serta mampu meredam kebisingan dan angin.
Kaitannya dengan kebutuhan ekonomi masyarakat, sebenarnya aspek ekologi dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang, yang saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Seperti asal katanya, ekologi (eikos dan logos=ilmu) dan ekonomi (eikos dan nomos=ilmu), dua kata yang sebenarnya mempunyai makna sama, meskipun saat ini sering ’dipaksa’ untuk dimaknai secara kontradiktif, dimana isu lingkungan kerap dianggap menghambat tujuan pembangunan yang hanya mengejar keuntungan (ekonomi) semata. Untuk itu, program konservasi ini harus dikemas dengan cara produktif atau bernilai ekonomis, seperti penanaman tanaman buah-buahan atau kayuan-kayuan yang punya nilai ekonomi, atau pengembangan agroforestry, dengan penanaman tanaman budidaya di bawah tegakan pohon sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, untuk memperbaiki kemampuan daya tahan dan daya serap daerah resapan tersebut dapat dilakukan dengan pembuatan sumur resapan. Sumur resapan dapat langsung menampung, menahan dan meresapkan air hujan atau air larian ke dalam tanah dalam volume besar dalam waktu yang singkat serta dalam luasan lahan yang sempit. Bentuk, ukuran dan letak sumur resapan disesuaikan dengan kondisi lahan yang ada, dapat menggunakan bentuk segi empat atau bulat seperti sumur gali, dan dibuat di lokasi yang sering dilewati air hujan. Disamping untuk meresapkan air hujan, sumur resapan ini juga berfungsi untuk mengurangi air larian (run off) sehingga mencegah terjadinya erosi lahan / longsor dan mengurangi kekeruhan air sungai atau badan air lainnya, serta menaikkan permukaan air tanah sehingga kita tidak usah terlalu dalam bila membuat sumur gali. Berdasarkan asumsi /pendekatan perhitungan yang dilakukan oleh ESP (Environmental Services Program), apabila sumur resapan bentuk persegi empat dengan ukuran 2mx2mx2m, dan air akan meresap ke tanah (volume 8m3) paling cepat 5-10 jam dan paling lambat satu minggu. Apabila banyaknya hari hujan yang dapat mengisi penuh sumur resapan dalam satu tahun adalah hanya empat bulan atau 16 minggu saja, maka dalam satu tahun akan terjadi peresapan air = 8m3 x 16 = 128 m3 atau 128.000 liter untuk satu sumur resapan.
Disamping dengan sumur resapan, untuk meresapkan air ke dalam tanah dapat pula dengan pembuatan biopori. Cara kerjanya hampir sama dengan sumur resapan hanya saja biopori bentuknya lebih kecil (diameter lubang + 30 cm dan kedalaman hanya sekitar 100 cm). Pada biopori ini diberi sampah organik, dengan tujuan untuk bahan makanan organisme tanah baik makroorganisme (cacing tanah) maupun mikroorganisme (bakteri pengurai bahan organik), dan organisme ini secara alami akan membuat lubang atau pori-pori sehingga dapat dilalui air untuk proses peresapan. Sehingga disebut biopori (bahasa latin: bios=organisme hidup), pori-pori yang dibuat oleh organisme tanah. Biopori sangat tepat untuk lokasi atau lahan yang sempit atau terbatas, seperti di perkotaan atau di komplek perumahan dan perkantoran.
Sebenarnya, nenek moyang kita sudah memiliki kearifan lokal membuat lubang tanah (bahasa jawa : kowen, luwangan) di halaman rumah untuk membuang sampah organik (daun-daunan). Dalam lubang tersebut juga terjadi proses penguraian secara biologis oleh organisme tanah sehingga pada saat musim penghujan lubang sampah tersebut juga berfungsi sebagai resapan air. Hanya saja bentuk dan ukurannya bebas, tidak mempunyai standar, sedangkan biopori ini ditentukan ukurannya.
Upaya Adaptasi
Dalam rangka pelestarian sumber daya air, kita juga perlu untuk membudayakan hemat dalam penggunaan air guna mengurangi eksploitasi terhadap penggunaan air tanah, seperti menggunakan air secukupnya/tidak berlebihan, mematikan kran air ketika kita membasuh tangan dengan sabun atau ketika sedang gosok gigi. Menurut Setiyono (2008), jika kita membiarkan kran air bocor sebanyak 1 tetes per detik, maka dalam satu bulan sudah 900 liter atau dalam satu tahun 11.000 liter air akan terhamburkan tanpa pemanfaatan yang jelas. Disamping itu penggunaan 1 ton kertas akan menghabiskan 20.000 m3 air untuk proses produksinya, padahal kita dengan mudahnya menggunakan tisue dan kertas yang berlebihan setiap hari, disisi lain banyak daerah yang kekurangan air.
Sebuah Renungan
Jika kita mengeksploitsi lingkungan secara berlebihan, maka suatu saat akan terjadi kelangkaan sumber daya air, sampai-sampai nilai air lebih berharga dari emas dan berlian. Ada baiknya kita renungkan artikel di sebuah media asing yang menggambarkan kejadian kelak tahun 2070, apabila perilaku manusia terhadap lingkungan masih seperti saat ini :
Hari ini, tahun 2070
Usiaku baru mencapai 50, namun aku terlihat seperti orang yang berusia 85.
Aku menderita penyakit ginjal yang sangat kronis karena aku tidak cukup minum air.
Sepertinya hidupku tidak akan lama lagi.
Aku termasuk orang paling tua di masyarakatku.
Aku ingat waktu aku berusia 5 tahun.
Saat itu, banyak sekali taman yang ditumbuhi dan dihiasi berbagai pepohonan, rumah-rumah dengan halaman yang indah,
dan aku bermain hujan saat gerimis turun.
Kini, untuk sekedar membersihkan kulit tubuh, kami hanya bisa menggunakan handuk yang dilumuri mineral oil.
Dulu, para wanita memiliki rambut yang indah.
Kini, kami harus mencukur semua rambut di kepala karena
tidak ada air untuk berkeramas.
Dulu, ayahku sering mencuci mobilnya dengan air dari selang.
Kini, anakku tidak percaya air dibuang-buang begitu saja.
Dulu aku ingat ada kampanye “SELAMATKAN AIR”
melalui poster, radio dan TV, namun tak seorangpun memperhatikannya.
Saat itu kami mengira bahwa air tidak akan pernah habis
Sekarang, semua sungai, danau, bendungan dan
air tanah mengering dan tercemar
Selama ini, kita selalu disarankan untuk minum 8 gelas air
Sekarang, aku hanya diizinkan minum setengah gelas air
Sekarang kami hanya boleh memakai satu baju, karena mencuci baju akan memboroskan air.
Kini kami menggunakan septic tank.
Ketiadaan air menyebabkan tidak berfungsinya saluran pembuangan.
Di beberapa negara, tentara dengan persenjataan berat ditugaskan untuk menjaga daerah yang masih memiliki sedikit lahan hijau dan aliran sungai.
Air menjadi harta benda yang banyak diburu orang
karena lebih berharga dari emas dan berlian.
Saat anakku bertanya tentang masa kecilku, Kuceritakan tentang padang yang hijau, bunga-bunga yang indah, rintik hujan, indahnya berenang bersama ikan-ikan di sungai dan bendungan, minum air sebanyak yang aku mau, dan betapa sehatnya orang-orang dulu.
Namun saat ia bertanya: Ayah! Mengapa sekarang tidak ada air ?
Aku tidak bisa menjawabnya.
Rasanya ada yang mengganjal dalam tenggorokanku!
Sekarang, anak-anak kami harus membayarnya dengan harga sangat mahal !
Mengingat peranan air yang sangat penting dalam kelangsungan hidup kita, maka marilah kita jaga dan kita lestarikan ’cawan emas’ Kabupaten Magelang ini, demi tercukupinya kebutuhan masyarakat akan air, untuk kualitas hidup yang lebih baik. *****
*) Kasubid Konservasi Sumber Daya Air dan Keanekaragaman Hayati (Ismail, S.Si., M.Si. *)
pada BLH Kab. Magelang