Pagi itu udara di dusun Tutup Ngisor sangat segar, cuaca cerah hanya dihiasi kabut tipis. Sejak sebelum subuh masyarakat desa dan warga seniman padepokan Tjipta Boedaya sudah mempersiapkan diri untuk mengadakan acara ritual yang setiap tahun diadakan, tepatnya pada tanggal ke 15 bulan Sura (Asyura). Sebab acara arak-arakan kesenian yang ada mengelilingi dusun itu. harus sudah dimulai jam 06.00 tepat. Menurut Sitras Anjilin, (53 tahun), putra bungsu almarhum Rama Yoso Soedarmo (pendiri Padepokan Tjipta Boedaya Tutup Ngisor), “acara ritual ini dilakukan memang harus dimulai jam enam pagi, ada penontonnya maupun tidak karena ini ritual tetap harus kita laksanakan. Alkhamdulillah acara ritual ‘Suran Seniman’ kali ini sudah yang ke 78 kalinya, dan sampai saat ini masih lestari,” jelas Sitras.
Acara ritual tradisional ‘Suran Seniman’ di padepokan seni Tjipta Boedaya memang dikemas selama tiga (3) hari tiga malam, yakni tanggal 13, 14 dan 15 Sura 1947 Alip (Saka Jawa) atau Sabtu Wage tanggal 16 November sampai Senin legi 18 November 2013 Masehi, dengan barbagai kegiatan, baik acara ritual, maupun pentas kesenian. Tradisi ini dilakukan sudah sejak lama, yaitu sejak padepokan ini berdiri tahun 1937. Oleh mendiang Eyang Yoso Soedarmo pendirinya, tradisi suran seniman ini dimaksudkan untuk melestarikan budaya Jawa, khususnya kesenian rakyat dan kesenian tradisional agar tidak musnah ditelan jaman. ”Pagelaran sakral yang wajib dilaksanakan dalam acara suran ini adalah wayang orang sakral dengan lakon Sri Tumurun atau Lumbung Tugu Mas dan beksan Kembar Mayang,” jelas Sitras, yang juga pegiat seni Komunitas Lima Gunung dan anggota Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) Kabupaten Magelang.
‘Tumuruning Wahyu Kasuburan’
Tema ini untuk menjawab dan mengungkapkan rasa syukur kehadirat Allah Yang Maha Agung, yang telah melimpahkan berkah kesuburan kepada warga masyarkat di lereng Merapi setelah tiga tahun Gunung Merapi mengalami erupsi. Kehidupan dan penghidupan warga lereng Merapi sekarang sudah kembali normal, rejeki dari kesuburan tanah telah melimpah. Ketika Merapi erupsi tahun 2010 lalu, warga Tutup ngisor desa Sumber Kecamatan Dukun khusunya, dan penduduk lereng Merapi baik yang dipangku Pemerintah Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengan maupun Sleman Provinsi DIY merasakan ketakutan dan kecemasan karena harus mengungsi, hidup dalam keprihatinan dan pejuangan.
Kekuatan mereka hanya pada kebersamaan, kegotongroyongan dan terutama keakrabannya dengan alam yang dibungkus dalam budaya hidup. Sebagian besar warga yang hidup dari olah tetanen tidak pernah duduk diam merenungi tragedi bencana, tetapi kembali bersemangat menapaki kehidupan dan penghidupan. Justru mereka lebih mensyukuri kehendak alam yang penuh berkah itu. Lahan pertanian mereka yang kini lebih subur memberi hasil yang lebih melimpah. Erupsi Merapi tersebut mereka anggap sebagai ‘Tumuruning Wahyu Kasuburan’
‘Tumuruning Wahyu Kasuburan’ inilah oleh para seniman Padepokan Seni ‘Tjipta Boedaja’ dan masyarakat dusun Tutup Ngisor desa Sumber Kecamatan Dukun, dikemas dalam acara ritual Suran Seniman. Letusan Gunung Merapi tahun 2010 lalu sangat mempengaruhi hidup, penghidupan dan kehidupan masyarakat. Waktu itu, semua warga harus menyingkir sementara ke tempat-tempat pengungsian yang lokasinya berpindah-pindah dan tersebar di wilayah Kabupaten Magelang, Temanggung dan bahkan ada yang sampai ke Wonosobo. Memang warga lereng Merapi sudah terbiasa dengan bencana alam ini, dan bencana kali inipun mereka maknai bukan sebagai peristiwa alam biasa, namun juga sebagai peringatan agar manusia bisa mawas diri. Mereka yakin bahwa dibalik musibah pasti ada berkah.
Erupsi Merapi mereka maknai sebagai turunnya wahyu kesuburan (Tumuruning Wahyu Kasuburan). Abu dan material vulkanis yang menyebar saat itu memang menjadi bencana dan merusak semuanya, termasuk tanaman. Tetapi kini telah menjadikan alam ini menjadi subur yang memakmurkan Profil pendiri Padepokan Seni “Tjipta Boedaja” Warga lereng Merapi, utamanya warga Dusun Tutup Ngisor tidak dapat dipisahkan dengan Eyang Yoso Soedarmo, Almarhum, Padepokan seni Tjipta Boedaya dan kesenian tradisional rakyat. Empat unsur tersebut yang memungkinkan sampai saat ini kesenian tradisional rakyat masih tetap lestari dan bahkan berkembang di daerah ini.
“Masyarakat desa ini masih dapat melestarikannya dengan ‘nguri-uri’ serta menjunjung tinggi seni budaya dan tradisi yang ada di sini. Sehingga kekayaan seni dan tradisi ini merupakan aset wisata budaya yang perlu dikembangkan untuk dapat menarik wisatawan,” kata H.Mardiyanto, Gubernur Jawa Tengah (2004) ketika menyaksikan Ruwatan Seniman di Padepokan seni Tjipta Boedaya Almarhum Eyang Yoso Soedarmo oleh masyarakat setempat dianggap sebagai sesepuh “pepundhen” dan panutan, terutama bagi para seniman. Kharisma Eyang Yoso Soedarmo sebagai tokoh seniman, pelaku spiritual dan tokoh paranormal dikenal oleh berbagai kalangan baik daerah, nasional bahkan internasional.
Bahkan sampai sekarang setelah beliau wafat, Padepokan Tjipta Boedaya masih banyak dikunjungi orang, terutama para seniman yang ingin ngangsu kaweruh budaya jawa, bahkan banyak juga yang dari luar negeri. Sebutan rama yang berarti ‘bapak’ pada Eyang Yoso Soedarmo, adalah sebutan dalam bahasa Jawa kepada orang tua yang patut dihormati. Pada masa mudanya, eyang Yoso Soedarmo menimba ilmu seni tari, seni pethilan wayang orang dan seni langendriyan di Padepokan seni pimpinan Panji Tukinun (nDara Tasman) di Gamping, Sleman Yogyakarta dari tahun 1917 sampai tahun 1921.
Ketika kembali ke desanya, dia bergabung dengan paguyuban wayang orang di dusun Diwak desa Sumber. Waktu itu, Paguyuban kesenian wayang orang tersebut anggotanya para pejabat desa, seperti lurah, carik, kamituwa dan juga para guru. Paguyuban ini diketuai Cokrowidayat, kepala desa Wates.
Di rumahnya Yoso Soedarmo juga melatih seni tari dan seni beladiri pencak silat serta mengajarkan seni tembang ‘macapat’ kepada warga sekitar. Seiring waktu peminatnya semakin bertambah banyak. Berbekal penguasaan ketrampilan seni tari dan didorong niat serta tekadnya untuk mengembangkan seni budaya Jawa, pada tahun 1937 dia mendirikan Padepokan Seni “Tjipta Boedaja” dengan surya sengkala “Suka Cahya Aruming Budaya” di dusun Tutup Ngisor desa Sumber Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Eyang Yoso Soedarmo, meninggal dunia pada hari Selasa Pon tanggal 6 Maret 1990 dalam usia 105 tahun. Dia meninggalkan tujuh orang anak masing-masing Sudarto (almarhum), Danuri, Damirih, Sarwoto, Bambang Tri Santosa, Tjipta Mihardja dan Sitras Anjilin. Ketujuh anaknya inilah yang kini mewarisi dan meneruskan cita-cita beliau dalam melestarikan dan mengembangkan kesenian rakyat, tradisi dan adat budaya Jawa. Makam Eyang Yoso Soedarmo teletak di halaman belakang padepokan dalam sebuah cungkup yang dikelilingi kolam. Di padepokan “Tjipta Boedaja” inilah warga masyarakat lereng Merapi dan bahkan dari kota-kota lain nyantrik, berlatih dan berolahseni. Pada awal berdirinya padepokan, bangunan pendapa dan panggung pentas masih sangat sederhana, berupa bangunan model kampung dari bahan kayu dan pondasi batu Merapi.
Ketika pendapa padepokan ini rusak karena tiang dan kayu bangunannya lapuk dimakan usia, dibongkar pada tahun 1992. Untuk membangun kembali para seniman, warga dusun yang petani, merenovasi pendapa dan bangunan padepokan ini. Diantara seniman yang membantu adalah H.Widayat (almarhum), maestro pelukis dari Kota Mungkid Magelang. Untuk mengenang jasanya, para seniman di sini sepakat untuk memberi nama pendapa padepokan dengan nama Pendapa H. Widayat.
Di kalangan budayawan dan seniman nama padepokan Tjipta Boedaya tidak asing di telinga. Banyak pakar seni dan budayawan dari perguruan tinggi dari dalam dan luar negeri yang mempelajari, meneliti atau mendokumentasi kegiatan berkesenian masyarakat desa ini. Bahkan pakar budaya dari Pusat Pengembangan Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drs. Soedarmono, SU, setelah menyaksikan tradisi Suran Seniman beberapa tahun lalu, mengakui padepokan di dusun ini sebagai type “Dusun Jawa Kuna” yang masih tersisa sebagai Cagar Budaya Jawa.
“Tradisi masih lestari dalam setiap nafas kehidupan masyarakat disini,” katanya. Yang menarik baginya, kesenian tradisional masih sangat lekat dengan dimensi spiritual masyarakat dusun Tutup Ngisor. Kesenian terasa menyatu dengan nafas dan gaya hidup masyarakat yang sebagian besar petani. Tahun 1990, Mrs. Alice Dewey, seorang pakar seni dan mahaguru bidang Anthropologi dari Universitas Hawai Amerika Serikat berkunjung dan mempelajari seni budaya di padepokan ini. Demikian juga, Mrs. V.I. Moritis dari Houston, Texas, Amerika Serikat juga pernah berkunjung ke sini.
Mereka sangat tertarik dan terkesan dengan kelestarian kesenian rakyat dan tradisi di dusun terpencil di kaki gunung Merapi ini. Dijadikan Objek Wisata Budaya Karena keberadaan padepokan Tjipta Boedaya, Dusun Tutup Ngisor Desa Sumber sejak tahun 2002 dikembangkan sebagai salah satu objek wisata budaya. Pemerintah Kabupaten Magelang telah meningkatkan jalan desa yang semula jalan tanah, mulai dari Pasar Talun Sampai Dusun Tutup Ngisor (2,6 Km) diaspal dan dilebarkan menjadi 3 meter. Disusul dengan pelebaran dan pengerasan jalan dari Dusun Sumber ke Tutup Ngisor dengan betonisasi melaui program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Sengkuyung II tahun 2003. Sementara itu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan daerah setempat telah mencatat kegiatan budaya di padepokan ini dalam Calender of Event pariwisata Kabupaten Magelang.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun juga pernah mengucurkan dana ratusan juta rupiah untuk merenovasi bangunan pendapa, panggung pentas dan prasarana lingkungan, seperti Jalan lingkungan yang semula tanah berpasir kini telah dipaving. Saluran air irigasi yang melintas di dusun ini juga telah ditata. Kini, lingkungan dusun Tutup Ngisor telah tertata rapi, asri dan indah sebagai sebuah dusun seniman. Ada sebuah gapura bergaya arsitektur kuna menghiasi jalan masuk ke padepokan. Dalam berkesenian masyarakat Dusun Tutup Ngisor berfalsafah “seni untuk seni” dan “hidup untuk seni” bukan “seni untuk hidup”. Namun demikian mereka tidak menolak desanya dijadikan desa tujuan wisata budaya. Mereka well come terhadap pengunjung yang ingin menikmati seni budaya dalam suasana perdesaan di kaki Merapi yang asri dan cantik. *)Mahendra-de