Sebenarnya kalau kita menyadari, pemanasan global merupakan ancaman yang saat ini sudah berada di depan mata kita. Di Kabupaten Magelang sendiri saat ini curah hujannya sudah tidak beraturan, dimana yang ’seharusnya’ musim kemarau akan tetapi hujan masih turun bahkan dalam intensitas yang cukup tinggi seperti saat ini, musim kemarau dengan panas yang sangat menyengat. Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari terjadinya pemanasan global.
Untuk itu, saya ingin berbagi atau sekedar mengingatkan kembali tentang fenomena ini. Bahwa pemanasan global merupakan fenomena dimana terjadi peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi akibat jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer seperti karbondioksida (CO2), ozone (O3), methane (CH4), nitorus oksida (NOx), CFC dan sebagainya yang jumlahnya lebih dari 20 senyawa. Dari senyawa-senyawa tersebut yang paling besar kontribusinya terhadap pemanasan global adalah gas CO2 yaitu sekitar 57%. Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfer bumi semakin meningkat, seperti dalam rumah kaca yang selalu panas dibanding suhu udara diluarnya. Karena itu disebut sebagai gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Sumber paling besar berasal dari pembakaran energi fosil seperti minyak, gas alam dan batu bara. Berdasarkan hasil riset, pembakaran 1 liter bensin atau premium akan menghasilkan sekitar 2,32 kg CO2 sedangkan solar dengan jumlah pembakaran yang sama akan menghasilkan sekitar 2,63 kg CO2. Bisa kita hitung berapa kira-kira jumlah CO2 yang kita hasilkan tiap hari khusus dari aktifitas transportasi kita menggunakan kendaraan bermotor.
Adapun dampak pemanasan global sangatlah beragam. Menurut Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, pakar lingkungan dari Undip, setidaknya ada enam dampak dari pemanasan global. Pertama adalah kenaikan permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil dan kota-kota di tepi pantai, sehingga juga menyebabkan terjadinya intrusi air laut ke daratan. Di daerah pantai, kenaikan air laut akan memperparah abrasi (pengikisan) sehingga luas daratan secara lambat namun pasti akan semakin berkurang, serta terjadinya akresi yaitu pendangkalan pantai akibat sedimen sehingga dapat akan menyulitkan kapal-kapal untuk merapat ke pelabuhan. Disamping itu kenaikan permukaan air laut juga menyebabkan banjir pasang atau rob, karena terjadi gejala tanah ambles (land subsidence), seperti yang telah kita dengar kejadian tersebut di beberapa ruas jalan di Jakarta, dan yang terdekat dengan kita di pesisir pantai Kota Semarang. Hal tersebut diperparah dengan pembabatan hutan mangrove di pantai yang disulap menjadi bangunan-bangunan untuk industri, hotel, pemukiman, bangunan untuk tempat-tempat wisata dan sebagainya. Padahal mangrove merupakan vegetasi yang sangat ampuh untuk menangkis dahsyatnya ombak sehingga mencegah abrasi, disamping banyak fungsi lain seperti sebagai habitat tumbuh dan berkembangnya beberapa jenis ikan dan organisme laut lainnya.
Dampak kedua adalah kenaikan temperatur air laut yang mengancam populasi ikan dan pada gilirannya akan mengurangi penghasilan nelayan. Dampak ketiga adalah kenaikan temperatur udara yang berpotensi meningkatkan berbagai macam penyakit seperti malaria dan penyakit lain yang penyebarannya melalui vektor nyamuk. Hal ini karena pertumbuhan vektor/nyamuk semakin meningkat dan daerah penyebarannya semakin luas, dimana organisme tersebut saat ini sudah semakin menjangkau ke puncak pengunungan karena daerah tersebut suhunya sudah tidak dingin lagi atau semakin hangat. Dampak keempat adalah berubahnya pola curah hujan karena terjadi perubahan iklim sehingga akan merubah pola tanam yang pada gilirannya akan dapat menurunkan produktifitas pertanian, dengan kata lain mengakibatkan kerugian petani. Hal tersebut dapat dimengerti karena terjadinya hujan sangat dipengaruhi oleh suhu udara dan suhu permukaan air laut. Dampak kelima adalah peningkatan evaporasi (penguapan) akibat kenaikan suhu udara yang berpotensi menimbulkan kekeringan dan dapat menyebabkan kekurangan bahan pangan karena akan merusak komoditas pertanian. Dampak keenam adalah meningkatnya badai tropis yang berpotensi menimbulkan kelangkaan air serta mengakibatkan gangguan transportasi. Hal ini tidak terlepas dari sifat angin yang juga dipengaruhi oleh suhu udara.
Menurut penulis, ada satu lagi dampak yang sangat penting dari pemanasan global ini, yaitu kemerosotan keanekaragaman hayati, dimana spesies-spesies, baik flora, fauna maupun mikroorganisme yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan maka akan mengalami kepunahan.
Upaya adaptasi dan mitigasi
Upaya adaptasi dilakukan dengan cara mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap perubahan iklim dan anomali gangguan cuaca , hal ini terutama dilakukan untuk terhadap daerah-daerah yang rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai contoh, mengembangkan jenis atau varietas tanaman pertanian yang tahan terhadap lingkungan yang agak kering atau sedikit air dan tahan terhadap peningkatan suhu ruang. Atau membuat bangunan rumah/gedung yang bahannya tidak mudah rusak bila terkena panas, cuaca ekstrim dan sebagainya.
Sedangkan langkah yang lebih penting adalah melakukan upaya mitigasi yaitu untuk mengurangi laju emisi gas rumah kaca dari berbagai sumber (sources) dan meningkatkan laju penyerapannya. Dalam hal mengurangi sumber emisi kita bisa melakukan beberapa cara seperti, penghematan energi listrik misalnya dengan mematikan lampu, TV, radio, atau komputer ketika sudah tidak digunakan, mengganti bola lampu dengan jenis yang hemat energi, memanfaatkan cahaya matahari (dengan genteng kaca, glass box) sebagai salah satu sumber penerangan dalam rumah, konstruksi rumah yang ”ecodesign” dimana penerangan dan fentilasinya memadahi tanpa harus menggunakan lampu di siang hari, atau memilih alat-alat rumah tangga yang konsumsi listriknya lebih kecil. Hemat BBM seperti menggunakan transportasi yang ramah lingkungan misalnya menggunakan sepeda atau berjalan kaki ke tempat yang dekat, tidak ngebut di jalanan karena dengan mengendarai mobil 50 km/jam akan menghemat energi sebanyak 25% dibanding dengan kecepatan 70 km/jam.
Disamping itu juga kita budayakan hemat dalam penggunaan air untuk mengurangi eksploitasi terhadap penggunaan air tanah, seperti menggunakan air secukupnya tidak berlebihan, mematikan kran air ketika kita membasuh tangan dengan sabun atau ketika sedang gosok gigi. Jika kita membiarkan kran air bocor sebanyak 1 tetes per detik, maka dalam satu bulan sudah 900 liter atau dalam satu tahun 11.000 liter air akan terhamburkan tanpa pemanfaatan yang jelas. Penggunaan 1 ton kertas akan menghabiskan 20.000 m3 air, padahal kita dengan mudahnya menggunakan tisue dan kertas yang berlebihan setiap hari, disisi lain banyak daerah yang kekurangan air.
Jika saja hemat energi ini bisa menjadi gerakan sosial, niscaya akan bisa mengurangi konsumsi energi secara signifikan. Upaya efisiensi energi memiliki manfaat ganda yakni menghemat uang dan menghemat energi konvensional yang makin menipis jumlahnya. Pada gilirannya gerakan ini akan dapat mengurangi jumlah gas rumah kaca di atmosfer.
Dalam rangka meningkatkan laju penyerapannya, cara yang paling mudah dan murah adalah dengan menanam pohon. Pohon adalah teman terbaik di bumi (the best friend on the earth is tree). Ia memiliki fungsi mengikat tanah sehingga mencegah terjadinya erosi. Disamping itu juga menyimpan air tanah, menurunkan suhu, memproduksi oksigen, menyerap CO2, sebagai habitat makhluk hidup, serta mampu meredam kebisingan dan angin. Menurut Prabang Setiyono (2008), pohon yang berdiameter tajuk 10 meter dapat menghasilkan oksigen sebanyak 875 liter per hari, atau satu hektar ruang terbuka hijau (RTH) yang dipenuhi pohon menghasilkan 0,6 ton oksigen, cukup untuk bernafas 1500 orang per hari. Tiap batang mampu menyerap 6 kg CO2 per tahun sehingga tiap hektar hutan akan menyerap 2,5 ton CO2 per tahun.
Dengan mencintai pohon, mudah-mudahan gerakan penghijauan bukan hanya bersifat ritual, tetapi juga menjadi gerakan kultural (budaya untuk memelihara sampai pohon itu tumbuh subur). Usahakan menanam pohon di sekitar rumah kita, bila tidak memiliki lahan untuk menanam maka bergabunglah dengan berbagai organisasi yang melakukan kegiatan penanaman pohon.
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah dengan membangun sumur resapan dan biopori. Langkah ini bisa mengurangi air larian (run off) dan memperbesar cadangan air tanah yang bermanfaat untuk kebutuhan hidup kita sehari-hari.
Adapun cara yang terbaik adalah memulai dari diri kita sendiri, seperti kata pepatah Act localy but think globaly, memulai aksi di lingkungan kita masing-masing tetapi harus berfikir untuk kepentingan global, sehingga planet bumi yang hanya satu ini tetap lestari, aman dan nyaman untuk dihuni baik generasi kini maupun yang akan datang. (Ismail, S.Si., M.Si. *))
*) Kasubid Konservasi Sumber Daya Air dan Keanekaragaman Hayati
pada BLH Kab. Magelang